Jalan-jalan | Faris Alfadh
Pada akhir September 2006 saya pernah menulis sebuah artikel di harian Kompas Jogja tentang situasi politik di Thailand. Di hari-hari sepanjang akhir tahun itu terjadi perubahan politik cukup drastis di Thailand akibat kudeta yang dilakukan militer atas PM Thaksin Shinawatra. Saat itu saya tidak sempat membayangkan suatu saat akan berkunjung ke negeri yang kerap mengalami kudeta politik tersebut (terbilang, Thailand telah mengalami lebih dari 19 kali kudeta sejak negara tersebut menganut sistem monarki konstitusional pada tahun 1932 ). Nah, beberapa waktu lalu saya mendapat kesempatan mengunjungi Thailand, atau tepatnya sekedar bejalan-jalan melihat kota Bangkok.
Tulisan ini adalah catatan ringan saya selama mengunjingi Thailand. Tentu saja deskripsi saya tentang Thailand berikut ini sangat subyektif, apalagi saya baru partama kali berkunjung. Karena itu tulisan ini tidak dimaksudkan sebagai persepsi umum tentang kondisi Thailand sepenuhnya, mungkin hanya sebagai catatan pribadi atas kesan pertama saya sebagai pelancong.
***
Selama ini Thailand memang lebih dikenal sebagai tempat melancong, atau negara dengan land mark pariwisata. Namun kesan pertama saya ketika menginjakkan kaki di negara yang terkenal dengan gajah putihnya itu tidaklah terlalu istimewa, alias biasa-biasa saja. Menurut saya, apa yang dicari para wisatawan asing di Thailand sebanarnya bisa didapatkan di Indonesia.
Kedua negara juga memiliki kemiripan dalam beberapa hal. Di bidang ekonomi, misalnya, walaupun kondisi ekonominya sedang menggeliat namun Thailand belum pulih sepenuhnya pasca krisis Asia 1997. Begitu pula secara geografis, kedua negara juga memiliki kesamaan di mana tidak mengalami akselerasi sinifikan di bidang pembangunan. Di kawasan selatan seperti Sungai Kolok, Hat Yai, Ban Khubua, atau Ratchabury, tidak jauh berbeda dengan kondisi beberapa daerah bagian timur Indonesia. Hamparan sawah dan deretan pohon kelapa dapat kita lihat di sebagian tempat, beberapa di antaranya bahkan terlihat gersang. Di sepanjang kawasan ini juga terdapat bukit-bukit yang dipenuhi pepohonan, sebagian lagi bercadas. Tempat-tempat suburban pun masih khas negara berkembang: bangunan yang terlihat “tua”, tidak terlalu bersih, di beberapa tempat bahkan masih centang perenang. Tentu berbeda dengan kondisi perkotaan di Malaysia atau Singapura yang sedikit lebih bersih dan rapi.
Namun demikian tetap saja tourist asing yang mengunjungi Thailand (terutama kota Bangkok) jauh lebih banyak daripada jumlah pengunjung negara-negara ASEAN lainnya, termasuk Indonesia. Bangkok mungkin seperti sebuah pekan raya: pengunjung datang beramai-ramai untuk sekedar berjalan dan belanja, cuci mata, sampai menjajakan sesuatu.
Dalam hati saya bertanya-tanya: kenapa Thailand begitu menarik bagi wisatawan asing, baik dari Amerika, Eropa, negara Skandinavia, Asia Timur, bahkan Timur Tengah? Kenapa Indonesia (yang juga bisa menyediakan kenyamanan yang sama, bahkan mungkin lebih baik) belum mampu menarik wisatawan asing sebanyak Thailand? Jawaban atas pertanyaan saya ternyata mulai terkuak sedikit demi sedikit selama perjalanan menuju Bangkok.
Ketika saya dan beberapa teman sedang duduk santai di Hat Yai Station (daerah selatan Thailand) sambil menunggu kereta ekonomi yang menuju Bangkok, ada seorang perempuan yang parasnya (setidaknya menurut saya) cukup cantik menyapa kami. Saya menduga umurnya sekitar 30 tahun. Dia menegur dengan bahasa Thai. Mungkin karena mengira kami adalah orang lokal Thailand (maklum perbedaan wajah orang-orang di kawasan ASEAN tidak terlalu jauh karena konon masih satu ras: Mongoloid).
Tentu saja kami tidak paham dan balik merespon dengan bahasa Inggris dan mengatakan kami dari Indonesia. Dia pun tersenyum dan mengucapkan terimakasih karena kami sudah datang ke Thailand. Kami mengobrol santai tentang alasan traveling kami ke Bangkok dan menceritakan ke negara mana saja kami telah berkunjung. Dia juga bertanya apakah jumlah kami hanya berlima? Saya pun mengatakan bahwa ada beberapa teman lagi selain kami, dan dua orang lagi sedang menumpang mandi di toilet stasiun. Lalu dia sedikit mendekat ke arah saya dan bertanya apakah saya juga sudah mandi? “Nanti, setelah dua teman saya itu,” jawab saya. Namun tiba-tiba dia mengatakan “apakah kamu mau mandi bersama saya?” Ups, kontan saja saya terkejut. Geli juga mendengar ucapannya yang genit namun tanpa beban. Saya dan teman-teman pun kaget lalu tertawa. Dengan tersenyum saya menjawab sopan “tidak, terimakasih!”
Walaupun Thailand terkenal dengan “bonus” wisatanya (di sekitar Khaosan Road, tengah kota Bangkok, bahkan ada sebuah iklan yang berbunyi: “Good Night and Save Sex”) namun saya tahu mungkin ucapan perempuan tadi hanya basa-basi mencoba akrab dengan para wisatawan asing. Tetapi yang membuat saya respect adalah sikapnya yang ramah dan familiar. Bahkan di akhir “basa-basi” kami, dia sekali lagi mengucapkan terimakasih yang tulus atas kedatangan kami ke Thailand sambil diikuti sikap hormat khas Thailand: dengan menyatukan kedua telapak tangan di depan sambil sedikit menundukkan kepala.
Pelajaran nomor satu yang saya dapatkan adalah: tunjukkan keramahan pada setiap tamu yang datang!
Oke, mungkin tidak semua orang Thailand seramah perempuan tadi, tapi paling tidak selama berjalan-jalan di kota Bangkok, kami belum menemukan tempat di mana wisatawan asing merasa canggung. Atmosfir Bangkok seolah memanjakan para wisatawan.
Sikap welcome mereka juga saya rasakan sejak memasuki imigrasi Thailand. Para petugas imigrasi tidak segan-segan menunjukkan sedikit kehangatan dengan tersenyum. Tentu sangat kontras dengan sikap petugas imigrasi Malaysia atau Singapura yang terkesan “sombong” dan jutek karena tak pernah senyum (apalagi jika kita dari Indonesia).
Salah seorang teman saya, ketika memasuki imigrasi Thailand, passportnya ternyata tidak terdeteksi computer. Petugas imigrasi pun berusaha menjelaskan secara teknis. Teman saya nampaknya khawatir dan menjelaskan bahwa ia membuat paspornya dulu di Mesir dll. Petugas imigrasi pun berusaha menjelaskan dengan tenang bahwa itu bukan masalah serius. Hanya persoalan teknis dan bisa diatasi secara manual.
Kekhawatiran teman saya tentu bisa difahami karena, maklum, pengalaman kami beberapa hari sebelumnya yang “tidak menyenangkan” di imigrasi Malaysia dan Singapura. Jangankan paspor tidak terdeteksi, terjadi kesalahan pengejaan nama antara yang tertulis di passport dan arrived form saja, salah seorang teman saya harus diintrogasi di sebuah ruangan. Begitu juga jika foto yang tertera di passport terlihat sedikit berbeda dengan aslinya. Ada-ada saja alasan mereka untuk mengintrogasi. Bahkan dengan alasan yang tidak jelas sekalipun pun kami bisa diminta masuk ke sebuah ruangan dan ditanya ini itu.
Sikap ramah terhadap tamu sebenarnya juga sudah menjadi nilai luhur masyarakat kita. Di beberapa daerah, misalnya, keramahan pada orang lain sudah menjadi tradisi bahkan keharusan. Namun citra masyarakat Indonesia yang ramah, suka menolong, dan menghargai keragaman, akhir-akhir ini mulai ternodai dengan banyaknya kelompok-kelompok “perusuh”. Maraknya aksi kekerasan inilah yang membuat beberapa wisatawan asing enggan datang ke Indonesia, karena khawatir akan menjadi korban. Beberapa negara, seperti Australia, bahkan sempat mengeluarkan warning bagi warganya untuk sementara waktu tidak bepergian ke Indonesia.
Sebagai seorang muslim saya juga mengkritik sikap kelompok-kelompok Islam revivalis yang cenderung sektarian dan menggunakan cara-cara kekerasan. Aksi-aksi razia, penjarahan, hingga bom bunuh diri yang mereka lakukan tentu sangat merugikan kita sendiri sebagai masyarakat Indonesia. Akibatnya kesan ramah sebagai masyarakat yang hidup rukun dengan aneka suku budaya, yang dulu selalu kita yakini sejak di bangku sekolah dasar dengan slogan bhineka tungal ika hilang begitu saja oleh aksi-aksi tidak simpatik beberapa kelompok ini.
Nah, selain itu, Thailand juga menjadi tempat yang aman bagi wisatawan karena aktifitas politik tidak sampai mengangu sektor-sektor lain. Hal ini setidaknya terasa sekali di kota Bangkok. Walaupun beberapa waktu lalu terjadi demonstrasi besar-besaran dan sempat “menduduki” bandara internasonal Bangkok serta memaksa terjadinya pergantian kepemimpinan di tingkat Perdana Menteri, namun suasana kota Bangkok sama sekali tidak mencerminkan fluktuasi politik seperti yang kita rasakan di Jakarta, atau kota-kota besar lainnya di Indonesia. Aktifitas ekonomi di Bangkok jalan seperti biasa. Demikian juga para tourist yang tidak merasa terganggu dan tetap saja bisa berjalan-jalan santai, atau sekedar menikmati secangkir teh panas di pagi hari tanpa merasa terganggu.
Salah satu kendala—kalau tidak ingin disebut ketakutan—para wisatawan asing datang ke Indonesia adalah situasi politik yang mudah tersulut. Mereka masih khawatir dengan demokrasi Indonesia yang (kadang) tidak terorganisir. Tengok saja kasus beberapa pilkada akhir-akhir ini yang berujung rusuh. Belum lagi konflik kepentingan antar elit yang bisa berujung kekeraan kerumunan. Memang banyak juga wisatawan yang berkunjung ke beberapa tempat di Indonesia seperti Bali, Jogja, Jakarta dll, tetapi jumlah mereka relatif lebih sedikit dibanding yang datang ke Bangkok.
Kota Bangkok juga tampak bersih dari atribut politik. Jangan harap anda akan menemukan satu poster atau spanduk dalam bentuk apa pun yang memuat gambar para politisi atau partai politik tertentu. Bahkan gambar seorang Perdana Menteri tak satu pun nongkrong di ruang publik. Di mana-mana yang ada hanya gambar Raja Thailand Bhumibol Adulyadej. Kata beberapa orang, hal itu karena Raja sudah menjadi simbol keadilan, stabilitas, dan kesejahteraan. Dan para politisi, kata mereka, hanya akan mengotori keindahan kota saja. Hmm…
Berbeda jauh dengan aktifitas politik di Indonesia, terutama akhir-akhir ini, yang mempertontonkan “narsisme” para caleg kita. Menurut saya, gambar-gambar caleg yang dipasang di mana-mana itu sudah sampai pada taraf mengotori pemandangan: sungguh menggangu! Tak ada lagi nafas bagi sudut-sudut kota, tembok lengang di ruas-ruas jalan, bahkan tiang listrik sekalipun semuanya disesaki stiker, spanduk, poster, dan baliho yang bertumpuk-tumpuk. Kita memang mendapat berkah dari demokrasi, namun bagaimanapun, demokrasi yang masih centang perenang ini harus terus ditata dengan baik.
Begitu juga dengan kehidupan sosial dan keagamaan. Kelompok-kelompok yang cenderung sektarian dalam memandang persoalan dan bersifat “revivalis”, harus diwaspadai karena akan mengancam kehidupan berdemokrasi serta interaksi masyarakat yang plural.
Oya, lain waktu semoga saya bisa berkunjung lagi ke Bangkok. Atau mungkin kota-kota lainnya.
Salam, mas Faris...
ReplyDeleteWah, isi blognya (walaupun lama) kayaknya agak nyambung dengan sesuatu yang bikin saya penasaran.
Tahun lalu saya membuat paspor baru (paspor lama sudah expired).
Saat saya menggunakan paspor baru saya untuk ke luar negeri (Hong Kong dan Macau), paspor saya tidak terdeteksi juga di imigrasi sana, sehingga penulisan data2 saya harus secara manual.
Pas di Soekarno-Hatta sih paspor saya ok2 aja, bisa terdeteksi mesinnya, paspor saya yang lama juga bisa.
Tapi saya penasaran, kalau mas masih inget, data paspor bisa tidak terdeteksi karena apa ya?
Soalnya saya jadi agak2 parno (saya membuat paspor secara legal lho, mas), takut suatu waktu paspor ini bisa menimbulkan masalah.
Saya juga dalam waktu dekat ingin ke Singapore dan Malaysia.
Di blog entry ini kan mas bilang temennya sempet sampe diinterogasi di kedua negara tersebut karena paspornya tidak terdeteksi...
Terima kasih. :)