Kompas, 26 Agustus 2008
Presiden Pakistan Pervez Musharraf akhirnya resmi meletakkan jabatan, Senin (18/8). Setelah sembilan tahun berkuasa pascakudeta tak berdarah tahun 1999, Musharraf mundur demi menghindari pemakzulan. Proses demokrasi Pakistan tampaknya memasuki babak baru.
Pengunduran diri Musharraf membuat rakyat Pakistan larut dalam kegembiraan. Sebagian dari mereka berpesta dengan turun ke jalan. Mereka berharap kehidupan akan lebih baik setelah ini. Namun, mundurnya Musharraf bisa jadi menyisakan berbagai persoalan baru serta situasi politik yang tak menentu. Seperti apa sebenarnya konstelasi politik Pakistan pascamundurnya Musharraf?
Setidaknya ada dua persoalan yang perlu diantisipasi pemerintah Pakistan. Hal itu adalah kemungkinan terjadinya kekacauan politik (konflik) yang parah serta persoalan memburuknya perekonomian.
Rawan konflik
Pakistan adalah negara yang rawan konflik. Sejak merdeka 61 tahun silam (1947), sudah 12 presiden dan 22 perdana menteri bergantian memimpin negara berbahasa Urdu tersebut. Jika mengukur stabilitas negara dari lamanya pergantian pemerintahan, jelas Pakistan tak pernah sepi dari konflik.
Tahun 1974, misalnya, pemerintahan Jenderal Yahya Khan dikudeta oleh Zulfikar Ali Bhutto. Jenderal Zia-ul Haq kemudian mengambil alih kekuasaan pada Juli 1977 dan menghukum gan- tung Ali Bhutto tahun 1979. Tanggal 17 Agustus 1988, Zia-ul Haq beserta beberapa pejabat militer Pakistan pun tewas dalam ledakan pesawat udara. Pada masa pemerintahan Musharraf, dua kali ia menghadapi percobaan pembunuhan melalui bom bunuh diri pada Desember 2003. Kasus terakhir adalah tewasnya mantan Perdana Menteri Benazir Butto akhir tahun lalu.
Pascamundurnya Musharraf, banyak kalangan yang mengingatkan akan kemungkinan terjadinya kekacauan politik. Apalagi koalisi pemerintah yang berkuasa, yakni Partai Rakyat Pakistan (PPP) yang kini dipimpin Asif Ali Zardari (suami Benazir Bhutto) dan Liga Muslim Pakistan (PML-N) di bawah Nawaz Sharif, merupakan dua kekuatan politik yang selama ini justru bersaing dan berupaya saling menjatuhkan.
Mundurnya Musharraf bukan tidak mungkin akan memicu persoalan baru mengenai pembagian kekuasaan. Karena itu, kedua partai harus segera menyadari sejak dini bahwa masa depan politik Pakistan ada di tangan mereka. Karena jika tidak, kekacauan politik bisa saja terjadi. Aksi kekerasan kelompok Islam garis keras, konflik etnis, serta kemungkinan aksi terorisme yang pelakunya selama ini diduga banyak bersembunyi di Pakistan juga perlu diantisipasi.
Keterpurukan ekonomi
Sepeninggal Musharraf, Pakistan juga dihadapkan pada persoalan ekonomi yang akut. Hal ini ditandai dengan krisis pangan dan bahan bakar yang terjadi di dalam negeri. Melonjaknya harga bahan bakar serta harga bahan pokok lainnya membuat rakyat mulai menjerit. Jika tidak segara diantisipasi, situasi ini bisa saja menyulut kekacauan politik baru akibat frustrasi masyarakat.
Salah satu kesalahan mendasar Musharraf selama berkuasa adalah melupakan peningkatan kesejahteraan ekonomi rakyat. Dia juga dinilai tidak mampu mengatasi persoalan ekonomi, sosial, dan politik domestik. Akibatnya rakyat Pakistan banyak yang hidup miskin. Dari sekitar 169 juta jiwa penduduk Pakistan, 28 persen hidup di bawah garis kemiskinan. Memang pendapatan per kapita negeri ini tergolong tinggi, sebesar 2.900 dollar AS (Kompas, 19/8/08), tetapi kesenjangan juga menganga.
Keterpurukan ekonomi merupakan persoalan serius bagi Pakistan pasca-Musharraf. Saat ini pertumbuhan ekonomi Pakistan tak lebih dari 7 persen karena investasi yang rendah serta kenaikan inflasi yang mencapai 6,5 persen. Belum lagi utang luar negeri yang berjumlah sekitar 40,2 miliar dollar AS.
Karena itu, mundurnya Musharraf menjadi pertaruhan bagi pemerintah koalisi demi masa depan demokrasi di Pakistan. Jika gagal, atau setidaknya menimbul- kan kekacauan politik yang lebih parah, tidak menutup kemungkinan kekuatan militer–yang kini dipimpin Jenderal Ashfaq Kiyani–kembali mengambil alih.
Dalam politik, selalu ada kesempatan bagi munculnya pretorianisme, di mana militer mencoba masuk dalam politik dan mengambil alih kekuasaan sipil. Baik dipicu terjadinya krisis ekonomi, vakumnya kekuasaan, maupun kegagalan sipil dalam menjaga stabilitas negara.
Karena itu, stabilitas ekonomi- politik serta masa depan demokrasi Pakistan sangat bergantung pada kedua partai yang saat ini berkuasa.
Faris Alfadh
agak miris juga pakistan yang sejatinya perwujudan dari pemikiran Muhammad Iqbal mengalami krisis politik yang belum usai.
ReplyDeleteRis. Akun blogger saya yang dulu entah kenapa dinonaktifkan blogger.com, jadi tidak bisa saya akses lagi. akhirnya saya memutuskan pindah alamat ke www.fahd-isme.blogspot.com dengan alamat domain tetap www.ruangtengah.co.nr
ReplyDeletejadi link ke blog saya kalo bisa diganti aja sama yang itu. Thanks ya, Ris. :)
Regards,
Fahd
www.ruangtengah.co.nr
www.fahd-isme.blogspot.com