July 16, 2008

Anomali

Esai | Faris Alfadh
Kompas, 3 September 2008

Kehidupan selalu melahirkan beragam anomali. Tak terkecuali demokrasi. Setidaknya dulu, di Indonesia, demokrasi tak ubahnya otokrasi. Dan kini ia mengaburkan kolonialisasi dan melahirkan oligarki.

Reformasi 1998 menawarkan fase paling demokrastis dalam sejarah politik Indonesia modern. Setelah era demokrasi terpimpin Soekarno yang lebih menyerupai otokrasi, dan orde baru Soeharto dengan negara otoriter-birokratiknya, reformasi seolah meniupkan angin segar kebebasan. Namun layaknya kehidupan, demokrasi pun melahirkan anomali.

Saat ini negara dan pasar menampilkan konfrontasi paling panas dalam sistem demokrasi liberal. Rezim neolib terus merongrong agar integrasi negara dan pasar bisa terwujud di bawah kendali pasar global. Di negara-negara berkembang seperti Indonesia, akibat disharmoni negara dan pasar, demokrasi lahir sebagai bentuk penyesuaian negara atas arus liberalisasi dunia.

Memang ada politik massa, konsolidasi jalanan, atau sistem perwakilan, tetapi pengambilan keputusan diambil alih prosedur demokrasi industrial. Di mana mode produksi menjadi acuan utama. Akibatnya banyak produk politik lahir dari rahim pasar. Elit politik pun tak lagi dibentuk atas kapabilitas dan afirmasinya atas massa, tetapi dibentuk atas relasi pasar dan modal. Lihat saja bagaimana elit politik dengan nama-nama “siluman” bermunculan secara tiba-tiba, artis dangdut pun mendadak ingin jadi bupati.

Dominasi pasar atas negara menjadikan kapitalisme sebagai panglima dalam praktek demokrasi. Perlahan-lahan negara kehilangan otoritasnya sebagai penyelenggara politik dan digantikan oleh pasar. Sederhananya, jika di negara-negara industri maju negara lah yang menciptakan pasar, maka di negara berkembang, muncul fenomena di mana pasar menciptakan negara. Demokrasi pun menjadi sistem penyelenggaraan negara yang semu, karena semua kendali berada di bawah kuasa modal. Maka tak ada lagi kata yang tepat untuk menandai fenomena ini selain neo-kolonialisme yang sedang berlangsung.

Yang kita saksikan pada tahap selanjutnya tentu saja adalah anomali demokrasi. Di mana demokrasi berharmoni dengan kolonialisasi. Tak ada lagi power, yang ada hanya take-over. Selain itu, disharmoni negara dan pasar juga ikut melahirkan disorganisasi sosial pada tingkat grass-road. Transisi demokrasi tidak mampu lagi melahirkan konsolidasi demokrasi, tetapi konsolidasi aligarki. Bukan revolusi demokratik, tetapi apa yang disebut Miguel Angel Centemo sebagai revolusi teknokratik.

Perlu diingat bahwa sejarah Indonesia modern lahir dari sejarah melawan kolonialisme. Kolonialisme yang terbentuk atas perselingkuhan tuan tanah dan kapitaliseme. Yang tidak boleh dilupakan bahwa sejarah kronologis kolonialisme di Indonesia masih sangat berhimpitan dengan fase lahirnya demokrasi.

Fenomena anomali demokrasi di atas pun ikut melahirkan konsekuensi selanjutnya, yakni oligarki demokrasi. Memang munculnya oligarki, di mana kekuasaan dan lembaga-lembaga politik berada di tangan segelintir orang saja, adalah sebuah keniscayaan dan sulit dihindari (immanent). Ilmuwan Robert Mitchel dalam karyanya, Political Parties (1949), menamakannya sebagai hukum besi oligarki (the iron law of oligarchy). Sekali lagi, memang ada gerakan politik massa, tetapi pengambilan keputusan berada pada jalur berbeda.

Demokrasi pun lahir sebagai sebuah fenomena yang lebih banyak kita temukan di jalan-jalan kota besar Indonesia daripada gedung parlemen, partai politik, atau lembaga pilar demokrasi lainnya. Kali ini saya teringat tahun 1998. Jalanan menjadi arena paling menggiurkan bagi pertunjukan politik di hari-hari sepanjang bulan Mei tahun itu. Tapi justru sebaliknya. Seperti yang diucapkan Goenmawan Mohamad, pada hari-hari itu politik justru sedang mati di jalan Jakarta.

Yang lebih menyakitkan adalah, kehidupan rakyat pada fase demokrasi liberal tidak menawarkan peningkatan kesejahteraan, justru sebaliknya. Ya, demokrasi menjadi sistem politik yang tidak berbanding lurus dengan kesejahteraan masyarakat.

Jika mengacu pada standar PBB, tiap individu dengan 2 dollar perhari, maka lebih dari 50 persen penduduk Indonesia yang berjumlah lebih dari 223 juta jiwa tergolong miskin. Yang muncul tentu saja ironi ketika dihadapkan pada kenyataan bahwa kekayaan sebesar 75 milyar dollar atau Rp 800 trilyun yang beredar di Indonesia hanya dimiliki oleh 150 orang saja.

Seperti kata Aristoteles, demokrasi adalah sistem politik paling buruk ketika yang tampil sebagai pemimpin adalah golongan masyarakat yang tidak terdidik. Suatu saat, katanya, demokrasi akan memberikan kesempatan bagi lahirnya orang-orang bodoh untuk berkuasa. Mungkin benar, mungkin juga keliru. Karena setiap usaha yang putus asa selalu melahirkan kerinduan akan selapis masyarakat yang hidup dalam komunitas yang cerdas dan bebas. Tapi kini, di Indonesia, demokrasi sedang memperlihatkan pertarungan “orang-orang bodoh.” Berapa banyak anggota parlemen yang masuk bui karena suap dan korupsi?

Di Indonesia demokrasi adalah demonstrasi. Demokrasi memberi peluang berkorupsi. Tetapi demokrasi juga memberikan harapan dan kesempatan untuk kita berdiri sejenak, sekali lagi. Tetapi Demokrasi? “Bah!”, kata penyair Allen Ginsberg. Ya, tanpa persiapan dan pijakan yang kuat, demokrasi barangkali hanya berakhir menjadi mobokrasi!

No comments:

Post a Comment