June 30, 2008

Jalin Kelindan Editor dan Penulis

-Faris Alfadh

Dalam beberapa tahun terakhir, dunia penerbitan dan perbukuan nasional terlihat menggeliat. Walupun menurut catatan Ikapi, buku yang terbit setiap tahunnya hanya sekitar 10 ribu judul, yang tentunya amat kecil jika dibandingkan dengan penduduk Indonesia yang mencapai 200 juta [bandingkan dengan Vietnam yang 15 ribu judul buku, dan Malaysia 10 ribu judul buku], namun saya yakin jumlah sebenarnya jauh lebih banyak, mengingat begitu banyaknya penerbit-penerbit kecil yang bermunculan, serta mereka yang lebih enjoy memproduksi bukunya secara mandiri (indie), yang tentu saja terlepas dari pantauan Ikapi.

Selain berjamurnya penerbit-penerbit major maupun indi yang membanjiri pasar buku dengan karya mereka, dunia perbukuan juga diramaikan dengan munculnya banyak penulis muda yang menghasilkan karya-karya best-seller, sebut saja seperti Habiburrahman El-Shirazy, Andrea Hirata, Helvi Tiana Rosa, Dewi Lestari, Ayu Utami dll. Fenomena ini juga diikuti lahirnya editor-editor muda yang tersebar di seluruh penerbit maupun yang berstatus editor lepas (freelance editor).

Dalam dunia penulisan (buku), peran seorang editor sangatlah penting. Bukan saja mengedit atau menyunting bahasa sebuah buku sehingga menjadi lebih menarik dan disukai pembaca, editor juga memberikan masukan serta kritik kepada penulis. Editor juga menilai atau memutuskan layak tidaknya sebuah naskah untuk diterbitkan. Dalam hal ini posisi editor bisa dilihat sebagai jembatan antara idealisme penulis dan selera pasar.

Jika jalin kelindan antara editor dan penulis begitu dekat, apakah menjadi editor lantas menjamin seseorang bisa menjadi penulis yang sukses, begitu pula sebaliknya penulis akan dengan mudah menguasai pekerjaan editor?

Dalam hal ini T.S. Eliot, sastrawan kontemporer asal Inggris, punya jawaban menarik. Ia mengatakan, “Some editors are failed writers, but so are most writers,” bahwa kebanyakan editor justru gagal menjadi penulis yang baik, begitu juga sebaliknya. Namun apa yang disampaikan Eliot bisa saja tidak sepenuhnya benar, mengingat editor dan penulis memiliki jalin kelindan tak terpisahkan. Di mana dalam setiap karya idealis seorang penulis, juga ada sentuhan kecerdasan seorang editor di situ. Bisa dibilang, di balik kesuksesan sebuah buku, terdapat peran editor yang hebat.

Editors are failed writers?
Pertama, dalam bekerja, editor memang banyak menghabiskan waktu berdialog dengan teks-teks yang harus diedit. Selain itu, ia juga dituntut untuk tidak hanya memberikan masukan dan kritik, tetapi membantu bagaimana penulis bisa meningkatkan kualitas tulisannya. Editor yang baik bukan saja memberikan kritik atas naskah, tetapi juga menganalisa kualitas tulisan. Maka tidak heran jika banyak penulis yang akhirnya mampu meningkatkan kualitas tulisannya atas berbagai masukan yang diberikan editor.

Namun persoalan yang sering dihadapi seorang editor ketika ingin sembari menjadi penulis (buku) adalah waktu. Banyak pengalaman di mana tidak jarang editor harus berkejaran dengan waktu, terutama jika sebuah naskah harus diterbitkan dengan segera. Sehingga mau tidak mau editor lebih banyak menganalisa sebuah “teks” daripada “konteks”.

Berbeda dengan penulis yang justru membutuhkan lebih banyak waktu untuk masuk menyelami imaji maupun ide yang pas untuk disampaikan kepada pembaca. Karena yang tersulit dalam menulis bukanlah bagaimana menulis itu sendiri, tetapi menuliskan apa yang kita maksudkan. Tentu saja, bagi penulis, semua ini membutuhkan perenungan mendalam, dan inilah yang seolah hilang dalam diri editor ketika ingin mulai menulis, sehingga imajinasi yang dihasilkan cenderung menjadi terbatas.

Kedua, ketika sembari ingin menulis, seorang editor akan menghadapi tantangan intensitas. Dilemma yang sering muncul adalah pilihan antara terus bergelut dengan proses editing atau meneruskan kuantitas menulis. Akibatnya, persoalan mood menjadi kendala lain yang harus dihadapi.

Intensitas menulis adalah hal yang sangat penting bagi seorang penulis. Ibarat seseorang yang ingin mahir bermain bola maka ia harus sering berlatih dengan rutin, begitu juga seorang penulis.

Emha Ainun Nadjib misalnya, sastrawan yang disebut HB Jassin sebagai penulis jenius karena produktifitas dan style kebahasaanya, mulai menulis dan membuat catatan pemikirannya sejak masih SMA. Begitu pula Pramoedya Ananta Toer, yang bahkan mulai menulis sejak usia dini yakni bangku SMP. J.K. Rowling pun demikian, menuliskan Harry Potter yang fenomenal itu bukan dalam waktu singkat. Ia sudah mulai menuliskan cerita tentang penyihir cilik tersebut beberapa tahun sebelumnya, yang walupun masih berupa catatan-catatan kecil di atas kertas yang ia tuliskan ketika berada di kereta, public park, maupun café sambil menikmati segelas kopi hangat.

Di sisi lain, bagi seorang penulis, beralih menjadi editor mungkin terlihat sebagai pilihan yang mudah. Namun kenyataannya sangat jarang terjadi. Persoalannya adalah karena penulis lebih banyak bermain bersama perspektif dirinya sendiri daripada teks-teks orang lain yang harus diedit. Tidak sedikit penulis yang akan mendapati proses editing yang “aneh”. Seperti, ia akan cenderung merubah gaya penulisan naskah dengan style penulisannya, atau memaksakan idenya atas teks yang ada. Hal ini bisa dimaklumi, karena penulis bukanlah editor. Perspektif imajinya cenderung lebih dikedepankan daripada analisanya atas teks. Berbeda dengan editor yang senantiasa menyesuaikan idealisme dan selera pasar.

Kejadian ini tentu merugikan kedua pihak: pemilik naskah (penulis) dan editor (yang juga penulis). Karena bukan saja akan mensubstitusi style dari pemilik naskah, tetapi editor (yang sejak awal menjadi penulis) juga menjadi kehilangan identitas penulisannya. Bisa jadi ia akan mengalami momentum kegamangan. Memang style bukanlah substansi dari sebuah tulisan, tetapi bagi penulis ia sangat penting. Karena dari situlah terkadang seorang penulis bisa dilacak.

Karena itu, apa yang diisyaratkan Eliot sebagai “kegagalan editor dan penulis” bisa jadi benar–setidaknya dalam beradaptasi, walaupun tidak sepenuhnya demikian. Karena ada juga beberapa editor yang kemudian berhasil menjadi penulis yang baik, begitu juga sebaliknya! So what your ideas?

gambar dari sini

No comments:

Post a Comment