June 16, 2008

Bank Kaum Miskin

Buku yang aslinya terbit dalam bahasa Prancis dengan judul Vers Un Monde Sans Pauvreté ini sebenarnya mulai beredar dalam bahasa Indonesia sejak April 2007 lalu, namun saya baru membacanya beberapa hari yang lalu. Yang menarik, [salah satunya] tentu karena buku ini ditulis oleh seorang penerima Hadiah Nobel Perdamaian 2006, Profesor Muhammad Yunus.

Ketika nama Muhammad Yunus [yang sebelumnya tidak terlalu dikenal] diumumkan sebagai peraih Hadiah Nobel Perdamaian tahun 2006, banyak kalangan yang bertanya, “siapa sebenarnya Muhammad Yunus, dan apa yang telah ia lakukan untuk kemanusiaan, sehingga ia pantas mendapatkan Hadiah Nobel Perdamaian?” Sekarang saya semakin yakin bahwa Profesor Yunus memang pantas mendapatkan penghargaan tertinggi tersebut.

Melalui buku setebal 269 halaman ini, Yunus mengungkapkan semua perjuangan yang telah ia lakukan untuk kemanusiaan dalam kurun waktu 30 tahun. Melalui sebuah project kredit mikro yang ia beri nama Grameen Bank (Bank Pedesaan), dengan memberikan pinjaman kepada perempuan-perempuan paling miskin tanpa agunan, ia bukan saja telah menyelamatkan lebih dari 2,6 juta perempuan miskin beserta keluarganya di Bangladesh, tetapi juga ikut menyelamatkan peradaban.

Sebagai dekan Fakultas Ekonomi di Chittagong University di Bangladesh, yang juga pernah mengenyam pendidikan di Amerika Serikat atas beasiswa Fulbright, Yunus paham betul akan teori-teori ekonomi yang ia ajarkan kepada mahasiswanya. Namun tidak seperti kebanyakan ilmuan lain di Negara berkembang, yang begitu menikmati pekerjaan mengajarnya dengan gaji cukup, Yunus akhirnya sampai pada tahap muak. Manakala teori-teori yang ia ajarkan ternyata tak pernah keluar melewati dinding-dinding ruang kelas yang terbuat dari batu. Kampus dengan segudang ilmu di dalamnya seolah tak pernah risih melihat masyarakat sekitar yang kian miskin, lahan pun tetap dibiarkan tandus. Bagi Yunus, membiarkan lahan tetap tandus di sekitar kampus universitas adalah hal memalukan. Jika universitas adalah gudang pengetahuan, maka sebagian pengetahuan itu harus dimanfaatkan untuk komunitas sekitarnya.

Tahun 1974, Bangladesh jatuh ke dalam bencana kelaparan. Melihat realitas kemiskinan yang sangat tinggi, Yunus melakukan langkah awal yang sangat sederhana, yakni mengidentifikasi penyebab kemiskinan dan apa yang dibutuhkan masyarakat.

Ia menemukan bahwa penyebab kemiskinan, yang kebanyakan diderita kaum perempuan, lebih disebabkan karena terbatasnya modal. Untuk melanjutkan hidup, mereka terpaksa harus meminjam kepada rentenir dengan sejuta aturan yang menjerat leher mereka sendiri. Sementara mereka tidak diperbolehkan meminjam dari bank karena tak ada lagi yang bisa digunakan sebagai jaminan. Namun apa yang membuat Yunus terenyuh, adalah kenyataan bahwa seorang perempuan di Bangladesh, untuk melanjutkan usahanya demi menyambung hidup, membutuhkan uang tak lebih dari AS$ 1 sehari. Dari 42 perempuan yang sangat miskin yang bisa ia kumpulkan di Jobra, desa tempat ia mengajar, mereka ternyata hanya mebutuhkan tak lebih dari AS$ 27. Yunus pun mengeluarkan uang dari koceknya sendiri sebagai langkah awal. Kegembiraan yang timbul di kalangan orang-orang itu oleh langkah sederhana Yunus membuatnya terlibat makin jauh ke dalam. Ia sadar, bila ia bisa membuat begitu banyak orang bahagia dengan uang yang begitu sedikit, mengapa tidak berbuat lebih banyak lagi? Langkah awal sederhana inilah yang kemudian mengilhami lahirnya Grameen Bank sebagai sebuah project jangka panjang dengan menyalurkan kredit mikro kepada kaum miskin, terutama perempuan.

Dari sini Yunus lantas mempertanyakan premis perbankan yang paling mendasar mengenai agunan. Di mana bank tidak mungkin memberi pinjaman tanpa jaminan pada kaum miskin karena resiko tidak kembalinya sangat besar. Yunus pun membantah: bahwa kaum miskin sangat punya alasan untuk membayar kembali pinjaman mereka, yakni untuk mendapatkan pinjaman lagi dan bisa melanjutkan hidup esok harinya! Itu jaminan terbaik yang bisa didapatkan: nyawa mereka. Kepercayaan pada kaum miskin inilah sebenarnya inti filosofi Grameen Bank.

Gebrakan yang cukup menjadi perhatian Grameen Bank adalah fokus utama pinjamannya diberikan kepada perempuan. Banyak yang mempertanyakan kenapa mesti perempuan? Namun Yunus bukan tanpa alasan. Perempuan miskin di Bangladesh memiliki kedudukan paling rawan. Jika ada anggota keluarga yang harus mengalami kelaparan, hukum tak tertulis mengatakan perempuanlah yang pertama-tama akan mengalaminya. Namun demikian, perempuan miskin terbukti lebih cepat menyesuaikan diri dan jauh lebih baik dalam proses membangun kemandirian daripada laki-laki. Yunus mengamati, semakin banyak pinjaman yang ia salurkan kepada perempuan miskin, semakin ia menyadari bahwa kreditur yang disalurkan kepada perempuan lebih cepat membawa perubahan daripada yang disalurkan kepada laki-laki.

Kini, Yunus dengan Grameen Bank-nya bukan hanya membantu kaum perempuan miskin Banglades keluar dari kemiskinannya, tetapi juga membantu Banglades bangkit dari keterpurukan peradaban. Yang paling penting untuk dicatat adalah, bahwa Yunus berusaha menyelesaikan maslah kemiskinan secara struktural, ia bukan sedang “bagi-bagi uang”. Ia mencangkokkan gagasan Grameen ke seluruh cabang yang ada di seantero Bangladesh sambil berusaha melakukan lobi-lobi politik ntuk meloloskan UU Grameen Bank, yang memungkinkan adanya bank dengan struktur kepemilikan dan cara beroperasi yang sangat berbeda. Dengan UU inilah para nasabah Grameen, yang sebagian besar buta huruf dan memiliki harapan hidup yang sangat kecil dalam beberapa tahun sebelumnya, bisa menjadi pemegang saham dan komisaris Grameen Bank.

Saat ini para peminjam Grameen Bank sudah menguasai 93 persen total ekuitas bank; hanya 7 persen sisanya dimiliki oleh pemerintah Bangladesh. Jumlah peminjam mencapai 2,6 juta orang, 95 persennya perempuan. Sejak dimulai kurang lebih 30 tahun lalu, Grameen Bank kini telah memiliki 1.181 cabang yang bekerja di 42.127 desa dengan staf sebanyak 11.777 orang. Jumlah pinjaman yang disalurkan sejak berdiri sebesar AS$ 3,9 miliar. Dari jumlah itu, sebanyak AS$ 3,6 miliar telah dibayar kembali dengan tingkat pengembalian sebesar 98 persen.

Keberhasilan Grameen, menurut Yunus, bukanlah sesuatu yang luar biasa, melainkan lebih merupakan contoh spesifik dari jenis kegiatan usaha baru: kegiatan usaha yang digerakkan oleh sikap yang ia namakan “kesadaran sosial.” Baginya, kemiskinan tidak diciptakan oleh kaum miskin, melainkan diciptakan oleh struktur masyarakat dan kebijkan-kebijakan yang dijalankan oleh masyarakat. Jika struktur telah dirubah, maka kaum miskin pun akan mampu mengubah hidup mereka sendiri. Pengalaman Grameen menunjukkan bahwa sekecil apapun dukungan modal keuangan yang diberikan, kaum miskin sepenuhnya mampu meningkatkan kehidupan mereka.

Atas keberhasilan Grameen Bank di Banglades, program-program serupa pun mulai diterapkan di beberapa negera. Di Malaysia ada Proyek Ikhtiar yang dimulai sejak tahun 1987. Di Filipina terdapat Landless People’s Fund, serta Ahon Sa Hirop (ASHI). Negara-negara lain seperti India, Nepal, Vietnam, China, Amerika Latin, serta Afrika pun menyusul. Bahkan AS juga demikian. Ketika Bill Clinton masih menjabat Gubernur negara bagian Arkansas tahun 1985, proyek Grameen pun diujicoba di Arkansas dengan nama Good Faith Fund.

Bagaimana Indonesia? Kredit mikro sebenarnya bukanlah barang baru di Indoensia. Kita sudah mengenal berbagai jenis kredit mikro, mulai dari arisan, kredit usaha tani, kredit usaha kecil, dan sebagainya. Sejak 20 tahun lalu, Indonesia pun selalu memiliki kementerian/departemen yang mengurusi koperasi dan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Namun, prakteknya ternyata tidak seindah yang terlihat. Karena bank ternyata lebih suka menyalurkan kreditnya kepada kelompok menengah ke atas, belum lagi kebijakan yang sudah menjadi rahasia umum bahwa pengusaha besar selalu mendapat prioritas dan privelese dibanding rakyat miskin. Akibatnya, kemiskinan dan pengangguran menjadi hal yang abadi.

Apa yang diakukan Profesor Muhammad Yunus di Banglades menjadi pelajaran berharga bahwa [sebagaiaman yang juga ia cita-citakan] menghapus kemiskinan dari dunia ini bukanlah sebuah kemustahilan. Membuang kata “miskin” dalam kamus kehidupan manusia sangat mungkin dilakukan. Karena itu, anda harus membaca buku ini untuk menemukan cara anda sendiri dalam melihat kemiskinan!

No comments:

Post a Comment