Buku yang aslinya terbit dalam bahasa Prancis dengan judul Vers Un Monde Sans Pauvreté ini sebenarnya mulai beredar dalam bahasa Indonesia sejak April 2007 lalu, namun saya baru membacanya beberapa hari yang lalu. Yang menarik, [salah satunya] tentu karena buku ini ditulis oleh seorang penerima Hadiah Nobel Perdamaian 2006, Profesor Muhammad Yunus.
Ketika nama Muhammad Yunus [yang sebelumnya tidak terlalu dikenal] diumumkan sebagai peraih Hadiah Nobel Perdamaian tahun 2006, banyak kalangan yang bertanya, “siapa sebenarnya Muhammad Yunus, dan apa yang telah ia lakukan untuk kemanusiaan, sehingga ia pantas mendapatkan Hadiah Nobel Perdamaian?” Sekarang saya semakin yakin bahwa Profesor Yunus memang pantas mendapatkan penghargaan tertinggi tersebut.
Melalui buku setebal 269 halaman ini, Yunus mengungkapkan semua perjuangan yang telah ia lakukan untuk kemanusiaan dalam kurun waktu 30 tahun. Melalui sebuah project kredit mikro yang ia beri nama Grameen Bank (Bank Pedesaan), dengan memberikan pinjaman kepada perempuan-perempuan paling miskin tanpa agunan, ia bukan saja telah menyelamatkan lebih dari 2,6 juta perempuan miskin beserta keluarganya di Bangladesh, tetapi juga ikut menyelamatkan peradaban.
Sebagai dekan Fakultas Ekonomi di Chittagong University di Bangladesh, yang juga pernah mengenyam pendidikan di Amerika Serikat atas beasiswa Fulbright, Yunus paham betul akan teori-teori ekonomi yang ia ajarkan kepada mahasiswanya. Namun tidak seperti kebanyakan ilmuan lain di Negara berkembang, yang begitu menikmati pekerjaan mengajarnya dengan gaji cukup, Yunus akhirnya sampai pada tahap muak. Manakala teori-teori yang ia ajarkan ternyata tak pernah keluar melewati dinding-dinding ruang kelas yang terbuat dari batu. Kampus dengan segudang ilmu di dalamnya seolah tak pernah risih melihat masyarakat sekitar yang kian miskin, lahan pun tetap dibiarkan tandus. Bagi Yunus, membiarkan lahan tetap tandus di sekitar kampus universitas adalah hal memalukan. Jika universitas adalah gudang pengetahuan, maka sebagian pengetahuan itu harus dimanfaatkan untuk komunitas sekitarnya.
Tahun 1974,
Ia menemukan bahwa penyebab kemiskinan, yang kebanyakan diderita kaum perempuan, lebih disebabkan karena terbatasnya modal. Untuk melanjutkan hidup, mereka terpaksa harus meminjam kepada rentenir dengan sejuta aturan yang menjerat leher mereka sendiri. Sementara mereka tidak diperbolehkan meminjam dari bank karena tak ada lagi yang bisa digunakan sebagai jaminan. Namun apa yang membuat Yunus terenyuh, adalah kenyataan bahwa seorang perempuan di
Dari sini Yunus lantas mempertanyakan premis perbankan yang paling mendasar mengenai agunan. Di mana bank tidak mungkin memberi pinjaman tanpa jaminan pada kaum miskin karena resiko tidak kembalinya sangat besar. Yunus pun membantah: bahwa kaum miskin sangat punya alasan untuk membayar kembali pinjaman mereka, yakni untuk mendapatkan pinjaman lagi dan bisa melanjutkan hidup esok harinya! Itu jaminan terbaik yang bisa didapatkan: nyawa mereka. Kepercayaan pada kaum miskin inilah sebenarnya inti filosofi Grameen Bank.
Gebrakan yang cukup menjadi perhatian Grameen Bank adalah fokus utama pinjamannya diberikan kepada perempuan. Banyak yang mempertanyakan kenapa mesti perempuan? Namun Yunus bukan tanpa alasan. Perempuan miskin di
Kini, Yunus dengan Grameen Bank-nya bukan hanya membantu kaum perempuan miskin Banglades keluar dari kemiskinannya, tetapi juga membantu Banglades bangkit dari keterpurukan peradaban. Yang paling penting untuk dicatat adalah, bahwa Yunus berusaha menyelesaikan maslah kemiskinan secara struktural, ia bukan sedang “bagi-bagi uang”. Ia mencangkokkan gagasan Grameen ke seluruh cabang yang ada di seantero
Saat ini para peminjam Grameen Bank sudah menguasai 93 persen total ekuitas bank; hanya 7 persen sisanya dimiliki oleh pemerintah
Keberhasilan Grameen, menurut Yunus, bukanlah sesuatu yang luar biasa, melainkan lebih merupakan contoh spesifik dari jenis kegiatan usaha baru: kegiatan usaha yang digerakkan oleh sikap yang ia namakan “kesadaran sosial.” Baginya, kemiskinan tidak diciptakan oleh kaum miskin, melainkan diciptakan oleh struktur masyarakat dan kebijkan-kebijakan yang dijalankan oleh masyarakat. Jika struktur telah dirubah, maka kaum miskin pun akan mampu mengubah hidup mereka sendiri. Pengalaman Grameen menunjukkan bahwa sekecil apapun dukungan modal keuangan yang diberikan, kaum miskin sepenuhnya mampu meningkatkan kehidupan mereka.
Atas keberhasilan Grameen Bank di Banglades, program-program serupa pun mulai diterapkan di beberapa negera. Di Malaysia ada Proyek Ikhtiar yang dimulai sejak tahun 1987. Di Filipina terdapat Landless People’s Fund, serta Ahon Sa Hirop (ASHI). Negara-negara lain seperti
Bagaimana
No comments:
Post a Comment