June 09, 2008

Barack Obama

Barack Obama adalah politisi AS yang membuat saya optimis memandang politik. Bukan saja karena kecemerlangan karirnya di usia yang relatif muda, tetapi visi politiknya yang mampu meniupkan angin perubahan bagi Amerika Serikat dan dunia. Politik yang selama ini melulu oportunis, realis, dan penuh intrik kepentingan, di tangannya berubah menjadi sesuatu yang menggairahkan dan penuh harapan.

Ketika bukunya The Audacity of Hope: Thoughts on Reclaming The American Dream [2006] diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Menerjang Harapan:Dari Jakarta Menuju Gedung Putih, saya langsung membelinya. Sebagai tokoh politik berpendidikan, selain pemikirannya yang brilian dan harapan perubahan yang ia janjikan, Obama juga memiliki kemampuan menulis yang sangat brilian. Sayang, buku memoar pertamanya, Dreams from My Father: A Story of Race and Inheritance, yang diterbitkan 11 tahun sebelumnya, belum diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Padahal menurut beberapa pengamat, buku ini merupakan memoar terbaik yang pernah ditulis seorang politisi dalam 20 tahun terakhir. Saya pernah melihat edisi Inggrisnya di Airport Adi Sucipto Surabaya beberapa waktu lalu, namun harganya masih terlalu mahal: $ 45.

Obama kini benar-benar menjadi superstar politik di Amerika Serikat. Bukan saja karena janji perubahan yang ia hembuskan, tetapi ia juga berhasil mengukir sejarah sebagai orang kulit hitam pertama yang menjadi calon presiden AS, setelah hari selasa (3/6) perolehan delegasi pendukungnya melewati angka 2.118–jumlah minimal yang diperlukan untuk menjadi capres Demokrat.

Memang terlalu dini mengatakan Obama akan terpilih sebagai presiden AS ke-44 menggantikan George W. Bush, mengingat pertempuran sesungguhnya justru pada pilpres yang baru akan dimulai November nanti. Namun jika dilihat dari beberapa survey selama ini yang masih mengunggulkan Obama atas rivalnya dari Republik, John McCain, maka Obama sangat berpeluang memenangkan pertarungan menuju Gedung Putih, dan terpilih sebagai presiden Afro-Amerika pertama sepanjang sejarah negeri paman sam tersebut.

Obama adalah salah satu tokoh politik yang konsisten menolak perang Irak. Menurutnya tindakan yang dilancarkan Bush tersebut hanya ikut meniupkan api di Timur-Tengah. Perhatiannya terhadap Timur-Tengah, bukan saja karena AS memiliki kepentingan yang cukup besar di kawasan ini, tetapi situasi politik Timur-Tengah juga ikut mempengaruhi konstelasi politik internasional. Perhatiannya terhadap konflik Timur-Tengah sudah ia tunjukan sejak menjadi Senator, yakni ketika ia ikut berkunjung ke Irak tahun 2006. Menarik untuk melihat seperti apa masa depan Timur Tengah jika Obama benar-benar terpilih memimpin AS nantinya.

Pendekatan Dialog
Banyak yang terkejut ketika Obama baru-baru ini menyatakan akan melanjutkan kebijakan mendukung Israel. Dalam pidato kebijakan luar negeri pertamanya sejak menyatakan dirinya menang sebagai calon presiden AS dari Partai Demokrat, di hadapan kelompok lobi Yahudi di Amerika, American Israel Public Affairs Committee (AIPAC), ia mengatakan bahwa keamanan Israel adalah hal yang “sakral” dan “tidak bisa dibantah”. Banyak yang mempertanyakan, apakah Obama akan bersikap lebih adil dalam melihat persoalan konflik, ataukah sama saja dengan Bush yang akan meneruskan kebijakan mempertahankan kepentingan AS semata, serta menjadikan Israel sebagai wakil AS di Timur-Tengah?

Tidak bisa dipungkiri, memanasnya konflik di Timur Tengah dalam beberapa tahun terakhir tidak terlepas dari campur tangan AS di kawasan tersebut yang lebih mengedepankan pendekatan militer. Invasi ke Afganisatan dan Irak adalah contohnya. Bagitu juga keberpihakannya yang tanpa syarat kepada Israel dalam upaya damai dengan Palestina, serta sikap keras kepalanya vis a vis Iran.

Dalam hal ini, Obama nampaknya tidak akan meneruskan gaya otot-militer Bush. Di Iowa, 10 November 2007 misalnya, Obama mengatakan akan segera mengakhiri perang di Irak dan menutup Guantanamo. Ia juga akan mengakhiri serangan melawan Al Qaidah dan akan memimpin dunia untuk melawan ancaman bersama abad ke-21: senjata nuklir dan terorisme, perubahan iklim dan kemiskinan serta pembasmian etnis dan penyakit. Di sini Obama jelas mengedepankan visi perdamaian, di mana perang dilihatnya hanya sebagai opsi yang putus asa. Sebaliknya, isu nuklir dan terorisme menurutnya justru harus mendapat perhatian serius bersama, begitu juga perubahan iklim dan kemiskinan.

Ucapannya untuk mendukung Israel baru-baru ini bukanlah sebagai indikasi Obama akan melanjutkan kebijakan Bush yang suka menyulut api konflik. Memang, siapa pun presidennya, AS akan sulit melepaskan diri dari patron politik tradisionalnya terhadap Israel. Namun harapan yang ada dalam diri Obama adalah, bahwa dia lebih memprioritaskan diplomasi dan kerjasama dengan pemimpin Palestina dan Israel untuk mencapai tujuan membuat dua negara, Israel dan Palestina, hidup berdampingan secara damai dan aman.

Obama tidak melihat alasan kuat untuk menggunakan kekuatan militer yang berlebihan di Timur-Tengah. Karena baginya, ancaman terhadap AS tidak lagi sebesar saat Uni Soviet masih eksis. Kalaupun ada ancaman kecil, Obama percaya kebijakan yang paling tepat mengatasinya adalah dengan proses negosiasi damai. Pandangan seperti ini dibuktikan Obama dengan kesediaannya untuk berdialog dengan pemimpin negara manapun, termasuk Iran dan Korea Utara. Tidak seperti Bush yang menolak bicara dengan pemimpin tersebut, Obama justru percaya, dengan tidak bicara justru tidak membuat negerinya tampak kuat, tetapi tampak arogan.

Karena itu, demi mengakhiri konflik di Timur-Tengah, Obama siap bertemu dengan siapa pun. Bahkan ia menjanjikan akan mendekati Syria dan Iran untuk soal Palestina. Dengan berunding, Obama optimistis, dunia akan menjadi lebih bersedia mendukung kepemimpinan AS.

Diplomasi Politik
Bagi Obama, diplomasi adalah jalan paling tepat untuk mewujudkan perdamaian di Timur-Tengah. Soal ampuhnya jalur diplomasi, Obama merujuk pada keberhasilan presiden sebelumnya, John F. Kennedy dan Ronald Reagan. Kennedy sukses melakukan diplomasi politik, mencapai kesepakatan dengan Perdana Menteri Uni Soviet, Nikita Khrushchev dalam Krisis Kuba. Hal yang sama dilakukan Reagan di tengah meruncingnya hubungan AS-Uni Soviet. Dia mengakhiri perang dingin itu dengan mencapai perjanjian senjata dengan pemimpin Uni Soviet, Mikhail Gorbachev.

Langkah itu pula yang agaknya ingin dijejaki Obama. Sikap Obama yang mengedepankan dialog tentu akan berdampak positif bagi Timur-Tengah. Sikap “melawan” yang diperlihatkan Iran selama ini justru karena AS di bawah Bush yang terlihat arogan. Maka jika Obama terpilih sebagai presiden, bukan mustahil Iran akan sangat kooperatif dalam kasus nuklir damainya. Hal inilah yang nampaknya membuat faksi Hamas juga ikut bersikap positif atas pencalonan Obama sebagai orang nomor satu di AS. Bukan karena isu kedekatan Obama dengan Islam, tetapi karena visi luar negerinya yang lebih menjanjikan bagi prospek perdamaian di Timur-Tengah.

Bagi negara-negara Liga Arab, serta pemimpin-pemimpin Sunni, Obama meningkatkan harapan bahwa AS akan menjadi negara superpower yang bertanggung jawab. Situasi politik Timur-Tengah nampaknya akan lebih stabil jika AS dipimpin Obama.

Faris Alfadh
Republika, 11 Juni 2008

1 comment:

  1. Hmmmmm, tentang Obama.
    Memang senator yang berasal darii Illinois ini beda dengan yang lainnya. Boleh dibilang dia menjadi 'fenomena' tidak hanya di Amerika Serikat, tapi juga di hampir seluruh dunia.
    Latar belakang dia yang berasal dari golongan 'kulit berwarna', membuat dirinya special, meskipun rival kampanyenya, Hillary, juga memiliki keunikan tersendiri.
    semoga saja dukungannya terhadap Israel tidak menimbulkan permasalahan baru, yaitu perang. Kalau memang nuklir Iran menempuh jalan buntu dalam negosisi, masih bisa diusahakan selain jalan perang.

    Regards,
    Syifa

    ReplyDelete