“Neo-colonialism is not a fancy term carried by President Soekarno. It is real. We feel it as we come under the control of the agencies owned by our former colonial master.” –Mahatir Mohammad
Kata-kata mantan PM Malaysia yang diucapkannya di depan The Asia HRD Congress di Jakarta 3 Mei 2006 tersebut seolah mewakili suara negara-negara berkembang, bahwa neokolonialisme memang bukan istilah khayalan yang diciptakan Presiden Soekarno. Ia itu nyata.
Dalam 30 tahun terakhir, dunia menyaksikan bagaimana neokolonialisme terejawantahkan dalam bentuk imperealisme ekonomi yang dilancarkan negara-negara Barat lewat globalisasi dengan tiga pilarnya: IMF, Bank Dunua, dan WTO. Alih-alih menawarkan solusi, globalisasi justru melahirkan persoalan baru, terutama di negara berkembang. Lihat saja ketika dunia memasuki abad dua puluh satu, kesenjangan justru semakin memburuk. 20 persen penduduk dunia yang kebetulan hidup di Negara-negara maju menikmati 86 persen penghasilan dunia, sedangkan 20 persen paling bawah hanya mendapat 1 persen penghasilan dunia. Lebih dari 1,3 milyar atau 1/6 penduduk dunia berpenghasilan kurang dari satu dolar perhari.
Kegagalan globalisasi dengan neoliberalismenya tak pelak melahirkan kritik tajam. Bahkan kecaman yang sangat keras datang dari mereka yang pernah berada dalam pusaran globalisasi seperti seperti Josep Stiglitz dan John Perkins. Stiglitz yang pernah menjadi wakil presiden Bank Dunia [1997-2000], dalam bukunya Making Globalization Work [2006], mengatakan bahwa globalisasi yang sedang berjalan dewasa ini tidak memberian manfaat bagi kebanyakan masyarakat dunia, karena aturan main yang tidak fair dan dirancang supaya menguntungkan Negara-negara kaya dan korporasi.
Pemahaman yang salah tentang globalisasi, kuatnya pengaruh asing dalam perekonomian kita sehingga berdampak terhadap terpuruknya kondisi nasional inilah yang kembali diteriakkan Amien Rais dalam buku terbarunnya Agenda Mendesak Bangsa: Selamatkan
Suasana bedah buku Selamatkan Indonesia! di Yogyakarta 23 Mei lalu.
Ada satu persoalan besar yang selalu bergejolak dalam pikiran tokoh politik sekaligus lokomotif reformasi ini, yang kemudian menjadi dasar kenapa buku ini ia tulis, yakni kita merupakan bangsa yang besar dengan sumber daya alam nomor dua di dunia setelah AS, tetapi mengapa kita terus saja miskin, terbelakang dan tercecer dalam derap kemajuan bangsa-bangsa lain?
Dalam hal ini, Amien sepakat dengan pendapat John Perkins, bahwa kekuatan korporatokrasi telah membuyarkan sendi-sendi ekonomi nasional yang semestinya dijaga. Dalam bukunya Confession of an Economic Hit Man [2004], Perkins menyebut korporatokrasi sebagai upaya membangun imperium global dengan menyatukan kekuatan korporasi besar, bank, dan pemerintah untuk memaksa masyarakat dunia mengikuti kehendaknya.
Dalam buku ini, Amien Rais menggunakan istilah korporatokrasi sebagai sistem atau mesin kekuasaan yang bertujuan untuk mengontrol ekonomi dan politik global yang memiliki 7 unsur, yaitu: korporasi-korporasi besar, kekuatan politik pemerintah [terutama Amerika dan kaki-tangannya], perbankan dan lembaga keuangan internasional, kekuatan militer, media
Namun pertanyaannya adalah: bagaimana kekuatan korporatokrasi internasional berhasil mencengkeram ekonomi kita? sehingga mereka dapat menjarah sumberdaya alam kita seenaknya, baik di darat, laut, maupun udara?
Menurut Amien, korporatokrasi mampu menjarah seluruh kekuatan ekonomi dan politik kita melalui apa yang ia sebut sebagai state capture corruption atau state-hijacked corruption, yakni korupsi yang menyandera Negara. Dengan kata lain, negara sebagai pemegang dan yang menjalankan kekuasaan sekaligus sebagai pelaku korupsi yang dilakukan secara terorganisisr di mana semua lini dari pemerintah, baik eksekutif, legislatif maupun yudikatif telah ikut menyandera Negara dengan praktek korupsi yang ada di dalamnya.
Inti dari korupsi ini adalah diakomodirnya kepentingan korporasi asing oleh negara melalui elit-elitnya yang sebelumnya sudah disuap. Kejahatan ini awalnya muncul ketika terjadi persekongkolan antara negara dan korporasi, di mana kekuatan korporasi menaklukkan kekuatan negara, sehingga negara menjadi pelayan kepentingan para korporat. Hal ini pula yang mengakibatkan Indonesia sampai sekarang masih tergabung dalam kelompok sebilan negara terkorup dunia bersama Haiti, Myanmar, Iraq, Guinea, Sudan, DR Congo, Chad dan Bangladesh.
Jika ingin melihat bentuk pengejawantahan
Sebagai missal, pada periode BJ. Habibie, diterbitkan UU No. 10/1998. Di mana UU ini secara esplisit mendorong salah satu agenda Konsensus
Dan yang lebih fatal adalah diterbitkannya UU No. 25/2007 Tentang Penanaman Modal di bawah kepemimpinan SBY-JK. UU ini merupakan penyempurnaan dari UU yang telah ada sebelumnya yang semakin memudahkan korporasi asing dalam menguasai isi perut kita.
Maka mengacu kepada judul bukunya Agenda Mendesak Bangsa: Selamatkan
No comments:
Post a Comment