Suara Muhammadiyah, No. 08/97, 16-30 April 2012
Gelombang revolusi yang melanda negara-negara Arab, mulai dari Tunisia, Mesir, Libya, serta Yaman, tampaknya mengalami kendala serius di Suriah. Setahun sudah protes politik berlangsung, namun ujung dari perubahan yang dinanti masih samar. Meski perlawanan terus terjadi di beberapa distrik kota Damaskus, Homs dan Hama, posisi rezim Presiden Bashar al-Assad belum tergoyahkan.
Kondisi di Suriah semakin mencekam akhir-akhir ini. Korban jiwa terus bertambah setiap harinya. Menurut laporan PBB, selama berlangsunya revolusi, korban jiwa telah mencapai 8.000 orang. Lebih dari 3000 ribu penduduk mengungsi ke negara-negara tetangga, seperti Turki, Lebanon, dan Yordania.
Meski demikian, kalkulasi kemanusiaan ini masih belum mampu memaksa kekuatan internasional untuk mendorong perubahan di Damaskus. Dunia seperti dihadapkan pada bukit bercadas, ketika berbagai resolusi belum mampu menunjukkan solusi.
Akar kebuntuan politik, sejatinya, bisa dilacak dari kompleksnya polarisasi kekuatan internasional yang bermain di Suriah. Pentingnya posisi Suriah membuat kontestasi politik tidak terhindarkan. Di kawasan Timut Tengah, keberadaan Suriah sangat strategis karena memiliki ketersinggungan langsung dengan persoalan etnis, persaingan agama Sunni-Syiah, serta kubu pro-Barat dan pro-Iran. Semua kekuatan mulai dari negara-negara Liga Arab, AS, Uni Eropa, Iran, Rusia dan China, punya kepentingan terhadap Suriah.
Kelompok pertama, yang menghendaki penggulingan terhadap rezim Assad: terdiri dari Liga Arab, AS serta dukungan Uni Eropa. Kelompok kedua, yang menolak keras opsi penggulingan: terdiri dari Iran, Rusia dan China. Tarik menarik kepentingan inilah yang membuat proses revolusi berjalan alot.
Negara-negara aliansi Liga Arab, terutama Arab Saudi dan Qatar, sangat berambisi menggulingkan Assad. Kepentingan terhadap Suriah tidak lebih sebagai upaya menjauhkan Suriah dari blok Iran. Perseteruan sektarian Sunni-Syiah menjadi sumber ketegangan. Iran yang mayoritas Syiah dipandang sebagai ancaman bagi negara Arab lainnya yang mayoritas Sunni. Selama ini Suriah, yang dikuasai sekte Alawi, kelompok minoritas Syiah di Suriah, menjalin kedekatan strategis dengan Iran. Karena itu, jatuhnya rezim Assad berpeluang menarik Suriah lebih dekat ke barisan negara-negara pro-Barat.
Bagi AS, dan juga sekutunya seperti Israel dan Uni Eropa, perubahan politik di Damaskus akan semakin memperkuat supremasi politik Barat, karena tidak saja membuat Iran kian terpojok, tetapi juga bisa mereduksi kekuatan Hizbullah di Lebanon dan Hamas di Palestina. Selama ini kedua kelompok tersebut turut mendapatkan pasokan sejata dari Suriah.
Namun di sisi yang lain, kepentingan untuk menggulingkan rezim Assad tidak akan berjalan mudah. Resistensi dari kekuatan yang berlawanan akan terus menjadi penghambat. Dalam hal ini Iran, Rusia, dan China, laiknya benteng pertahanan bagi Suriah.
Kepentingan Iran sangat jelas, tidak saja faktor kedekatan Syiah semata, melainkan juga terkait posisi politiknya di kawasan. Jatuhnya rezim Assad akan membuat Iran kian terintimidasi. Karena itu negara yang dijuluki negeri para Mullah ini tentu tidak ingin kehilangan sekutunya di kawasan. Perlawanan Iran bahkan tidak main-main. Jika sewaktu-waktu Suriah menghadapi intervensi militer, Iran siap membantu. Keberadaan kapal perang milik Iran di wilayah perairan Suriah adalah sinyal yang sangat kuat.
Sementara bagi Rusia dan China, kepentingan ekonomi-politik di Suriah terlalu berharga. Jatuhnya rezim Assad bisa mendatangkan kerugian berarti. Karena itu, kedua negara ini menjadi ganjalan paling besar bagi tiap resolusi dunia internasional. Sebagaimana yang tampak jelas ketika keduanya memveto resolusi Dewan Keamanan PBB, serta memboikot pertemuan sekitar 70 negara di Tunis, Tunisa, akhir Februari lalu, yang membahas opsi politik bagi Suriah.
Rusia punya alasan mendasar dalam mendukung Assad, yakni terkait kerjasama persenjataan yang sudah terjalin lama. Ekspor senjata telah membuat hubungan Moskow dan Damaskus sangat erat. Jatuhnya Khadafi di Libya serta adanya sangsi terhadap Iran, kian memperkecil pasar persenjataan Rusia. Terlebih lagi Rusia ingin tetap menancapkan pengaruhnya di kawasan Timur Tengah. Perlu diingat bahwa Rusia kini kembali dipimpin oleh Vladimir Putin, yang sangat berambisi menjadikan Rusia sebagai kekuatan global yang dominan.
Kepentingan pemerintah China tidak jauh berbeda. Kerjasama militer dan ekonomi mengiringi sejarah hubungan Beijing dan Damaskus. Pada tahun 1993 dan 1996, misalnya, China membantu Suriah dalam program misil balistiknya. Selain itu, upaya menjaga hubungan baik dengan Iran juga menjadi pertimbangan, terutama terkait kebutuhan suplai minyak. Selama ini sekitar 20 persen produksi minyak Iran mengalir ke China.
Polarisasi kekuatan internasional inilah yang turut membuat proses revolusi di Suriah begitu kompleks. Situasi politik Suriah saat ini seperti pusaran air yang mampu menarik semua kekuatan. Perubahan politik secara radikal di Damaskus bisa mengubah total konstelasi politik di kawasan. Karena itu, setiap kekuatan punya kepentingan agar tidak tergerus arus.
Fenomena ini sekaligus melahirkan ironi dalam revolusi Suriah: di satu sisi kian memperjelas peta politik di kawasan, namun di sisi lain menjadi beban persoalan bagi rakyat Suriah. Kepentingan kemanusiaan mereka seolah tersubstitusi oleh kalkulasi politik. Hal semacam inilah yang bisa membuat penantian revolusi semakin melelahkan.
Faris Alfadh
Image from here
No comments:
Post a Comment