March 24, 2012

Discourse











:Iran dan diskursus lain di luar politik

Iran, jika diibaratkan kata dalam Kamus Politik, ia bisa berarti ekstrem: musuh stabilitas, pembangkang keamanan, dan ancaman bagi kelompok mainstream. Karena itu, ia perlu ditaklukkan dan dibuat patuh—dengan cara apapun.

Tentu saja ini adalah definisi yang diberikan Barat, terutama Amerika Serikat. Dengan kata lain, Iran yang dipahami, dalam pengertian ini, sarat bias dan tendensius.

Namun apa boleh buat, definisi inilah yang diterima sebagai pengertian umum. Meski tidak lazim, tetapi kita mafhum: ia lahir dari proses politik! Dan politik, seperti diyakini Michel Foucault, adalah domain di mana Diskursus diciptakan—sesuatu yang memberi anda legitimasi akan sebuah kebenaran.

Di sini kita tidak lagi berbicara yang benar ataupun salah, secara hakiki. Karena kebenaran adalah dominasi bagi yang mampu menguasai dan memproduksi diskursus. Seperti kata Foucault dalam Nietzche, Genealogy, History (1991: 86): “Keberhasilan sejarah adalah milik mereka yang mampu merebut aturannya.”

Laiknya cerita perang melawan terorisme. Bukan semata karena kebesaran dan kekuatan militer dan ekonomi yang dimiliki, sehingga membuat Amerika dengan mudah menunjuk hidung sebuah negara: anda teoris dan anda tidak. Melainkan karena sebelumnya ia telah memenangkan sebuah wacana, yang memberinya hak dan legitimasi. Dan dengan itu dimungkinkan terjadinya hegemoni.

Karena itu, meletakkan Iran dalam pengertian paling ekstrem tentu bukanlah persoalan sulit. Kita tahu, Iran sebelum tahun 1979, adalah bagian dari aliansi Amerika di kawasan Timur Tengah. Namun ketika revolusi Islam meletus dengan heorisme baru, rezim Reza Shah Pahlavi, yang sangat Barat itu, tersingkir dengan menyakitkan. Amerika seketika itu merasa dipermalukan. Negara besar ini pun geram sekaligus menyimpan dendam.

***

Meski demikian, tampaknya selalu ada ruang yang bisa dimenangkan di luar politik. Dari Teheran, seorang sineas, Asghar Farhadi, mencoba memenangkan hal itu dengan menyuguhkan cerita lain tentang Iran melalui Filmnya, A Separation (2011).

Film ini bercerita tentang sebuah keluarga Iran yang dihadapkan pada keputusan sulit: untuk menemukan kehidupan yang lebih baik bagi anak mereka dengan pindah ke luar negeri, atau tetap tinggal di Iran merawat ayah mereka yang mengidap penyakit Alzheimer, yang kondisinya semakin memburuk.

Nader (Peyman Moadi) memilih untuk tidak meninggalkan ayahnya. Sementara Simin (Leila Hatami), istrinya, bertekad kuat meninggalkan negerinya demi sang anak, Termeh (Sarina Farhadi). Simin kecewa. Ia tak bisa menerima sikap suaminya. Bukankah Alzheimer sudah membuat ayah mertuanya itu bahkan tidak lagi bisa mengenali suaminya dengan baik. Maka untuk apa lagi bertahan.

“Apakah dia masih bisa mengenalimu lagi sebagai anak?” kata Simin dengan penuh kecewa.

Nader menjawab getir, “dia mungkin tidak mengenaliku, tetapi aku tahu bahwa dia adalah ayahku.” Kita pun tahu, ada pertalian yang dalam antara ayah dan anak. Dan itu tidak mungkin bisa diputus.

Di sisi lain, Termeh, yang belum bisa menerima perpisahan kedua orang tuanya, memutuskan tetap tinggal bersama ayahnya. Ia tahu, itulah yang bisa menguatkan ayahnya, sekaligus membuat Ibunya tidak akan pergi. Persoalan pun muncul satu demi satu, dan mengubah segalanya.

***

Dalam Film ini, Farhadi menunjukkan wajah Iran yang sederhana: pilihan sulit yang dihadapi keluarga kelas menengah. Sesuatu yang sejatinya bisa menimpa sebuah keluarga, di mana saja. Ia tidak terjebak ke dalam politik, sebagaimana banyak sineas dari Eropa Timur yang menikmati romantisme perang sebagai latar cerita.

Farhadi tahu persis tentang negerinya, dan bagaimana tanah airnya itu di mata dunia. Karena itu ia memilih menampilkan Iran yang lebih manusiawai. Dari sini kita pun tahu bahwa masyarakat Iran juga sama modernnya dengan masyarakat lain di Timur dan Barat, dengan sekelumit cerita yang juga serupa: bukan lagi sekelompok fanatik agama yang berbahaya, seperti digambarkan banyak media dan para politisi dunia.

Farhadi adalah suara lain dari negeri para Mullah, yang berusaha memotret lanskap Iran dari dalam. Ia berbeda dari, misalnya, Kanan Makiya dan Edward Said, dua orang intelektual yang melihat negerinya dari tempat asing, dan dengan cara yang berbeda.

Makiya adalah suara Irak dari jauh. Anak arsitek terkenal yang meninggalkan Bagdad tahun 1968 untuk belajar ke Amerika itu tidak pernah kembali ke negerinya. Tetapi dari jauh ia bercita-cita tentang Irak yang demokratis dan sekulrer. Ia membenci kekuasaan Saddam Husein dan Partai Baath. Ketika Amerika menyerbu Irak, ia ikut bertepuk tangan.

Sementara Said adalah suara Arab dari tempat yang asing. Ia, yang lahir di Jerusalem (ketika itu masih berupa Palestina), lantang membela Arab dan mengecam Barat yang hanya melihat Timur (Arab), negeri dari mana ia berasal, sebagai sesuatu yang mesti “ditaklukkan”.

Di sini kita melihat perbedaan: Makiya, dengan lantang, menghadapkan pengeras suaranya ke telinga orang Arab dan Irak. Sementara Said ke telinga orang Amerika. Farhadi justru mengarahkannya ke telinga semua orang, dengan suara yang lebih lembut.

Kita kemudian tahu, Farhadi mendapatkan tepuk tangan banyak orang, baik Arab, Asia, Amerika, dan juga negerinya, ketika Filmnya memenangkan piala Oscar pada 26 Februari lalu, sekaligus menjadi film Iran pertama yang mendapatkan piala tersebut untuk kategori Film Berbahasa Asing Terbaik.

Dalam pidato singkat yang ia bacakan di selarik kertas, ketika menerima piala Oscar, ia bahagia mewakili kegembiraan rakyat Iran. Bukan saja karena itu penting sebagai penghormatan atas perfilman Iran, tetapi karena negeri mereka dihargai tidak lagi dalam citra ektrem, sebagaimana digambarkan media dan politisi dunia selama ini. Kata Farhadi:

At the time when talk of war, intimidation, and aggression is exchanged between politicians, the name of their country Iran is spoken here through her glorious culture, a rich and ancient culture that has been hidden under the heavy dust of politics,

Kepada dunia, Farhadi seolah ingin meyakinkan bahwa rakyat Iran juga tidak jauh berbeda dengan masyarakat lainnya: sama-sama menghargai kemanusiaan dan benci akan permusuhan. “They are a truly peace loving people,” kata Farhadi, tentang masyarakat Iran, ketika menerima penghargaan Golden Globe sebelumnya.

Saya kira Farhadi tahu persis, memenangkan sesuatu di luar politik akan memberikan makna yang esensial bagi negerinya.

Faris Alfadh

No comments:

Post a Comment