February 19, 2011

Transisi Demokrasi Pasca-Mubarak





Kedaulatan Rakyat, 17 Februari 2011

Euphoria kemenangan revolusi di Mesir terasa begitu heroik. Tidak hanya di Tahrir Square, yang sejak 25 Januari lalu menjadi tempat digelarnya parlemen jalanan oleh jutaan rakyat pro-demokrasi, tetapi juga di seantero Mesir, menyusul mundurnya Presiden Hosni Mubarak, Jum’at (11/2) malam. Proses demokrasi Mesir tampaknya memasuki babak baru.

Rakyat Mesir pantas merayakan kebebasan dengan gegap gempita. Selama tiga dekade mereka hidup di bawah rezim Mubarak yang despotis. Ketakutan tersebar di mana-mana, kemiskinan dan pengangguran semakin melimpah. Kehidupan yang lebih baik dan terbuka menjadi harapan setiap orang setelah ini.

Saat ini Tahrir Square mungkin masih menyisakan kidung kebebasan dan cerita kebahagian. Namun beberapa hari mendatang orang di jalan-jalan akan mulai bertanya, bagaimana proses transisi demokrasi akan berlangsung, sejauh mana ketidak pastian datang menghadang?

Larry Diamond dalam Developing Democracy: Toward Consolidation (1999), menekankan bahwa membangun demokrasi di masyarakat pasca-otoriter memerlukan waktu dan pengorbanan. Pemerintah demokratis di masa transisi dihadapkan pada tiga agenda penting: perbaikan kinerja ekonomi dan politik; penguatan institusi politik; restrukturisasi hubungan sipil-militer dan penguatan sivil society.

Ketiga hal tersebu akan menjadi tantangan berat Mesir dalam membangun demokrasi pasca-Mubarak. Apalagi rakyat Mesir cukup lama hidup dalam bayang-bayang kediktatoran. Setelah Inggris hengkang, Mesir diperintah raja yang tidak kompeten dan, sejak 1952, rezim militer mulai mengambil alih.

Pertama, persoalan ekonomi menjadi tantangan pertama Mesir di masa transisi demokrasi. Saat ini kemiskinan tersebar luas di mana-mana, dari pedesaan hingga perkotaan. Lebih dari 40 persen rakyat Mesir hidup dengan penghasilan kurang dari 2 dolar AS perhari. Jika tidak segera diantisipasi, maka kondisi ekonomi yang semakin sulit bisa saja memicu frustasi di masyaraka dan berujung pada kekacauan politik baru. Perlu diingat bahwa tuntutan agar Mubarak mundur selama ini juga tidak terlepas dari krisis ekonomi dan tidak meratanya distribusi ekonomi.

Kedua, penguatan institusi politik yang mencakup birokrasi, sistem pemilu dan kepartaian, serta penegakan hukum, akan berlangsung cukup rumit mengingat selama ini Mubarak turut menyuburkan korupsi dan memanipulasi institusi politik demi status quo. Pemerintah transisi perlu membangun komunikasi sosial yang kuat dengan kelompok-kelompok politik, terutama menjelang pemilu yang direncanakan berlangsung September mendatang. Bisa dipastikan semua kelompok politik akan berebut simpati, termasuk kemungkinan munculnya kembali kelompok pendukung Mubarak.

Jika tidak diantisipasi, para pendukung Mubarak bisa saja kembali berkuasa. Saat ini sudah muncul beberapa nama sebagai calon pengganti Mubarak, di antaranya Amr Mousa, Omar Suleiman, Shami Hafez Anan, Mohamed El-Baradei, dan Ayman Nour. Menariknya nama-nama tersebut justru memiliki hubungan dengan Mubarak. Hanya dua tokoh yang disebut terakhir yang relatif independen, yakni El-Baradei dan Nour.

Ketiga, restrukturisasi hubungan sipil-militer akan menjadi hal yang amat penting. Selama ini militer begitu dekat dengan kekuasaan, bahkan menjadi kekuatan politik penting dalam melindungi rezim yang berkuasa di Mesir. Memang, menganggap militer akan kembali berkuasa dan menjadi penghalang proses demokrasi adalah penilaian yang terlalu prematur. Militer telah berjanji akan segera mengubah konstitusi dan menggelar pemilu yang adil. Selama ini militer pun sudah menunjukkan itikad baik dengan mengawal demontrasi dan tidak mendukung Mubarak. Namun perlu diingat bahwa orang-orang yang saat ini berada di tampuk kekuasaan sebagian besar pernah memiliki karir di militer, mulai dari Wakil Presiden, menteri, hingga para gubernur.

Selain itu, proses konsolidasi demokrasi Mesir juga akan mendapat tantangan dari upaya intervensi negara lain. Tak ada negara yang paling cemas dengan gejolak yang terjadi di Mesir selain AS dan Israel. Selama ini Mesir merupakan sekutu terpenting AS di Timur Tengah. Mesir lah yang juga menjadi benteng AS dan Israel dari para kelompok radikal di Timur Tengah, sekaligus sebagai penjamin perdamaian Arab-Israel.

Kecemasan terbesar AS adalah jatuhnya Mesir ke tangan kelompok Islam seperti Ikhwanul Muslimin, yang telah lama mengalami penindasan di masa Anwar Sadat dan Hosni Mubarak. Jika kelompok Islam menang dalam pemilu mendatang, maka hal tersebut akan menjadi petaka bagi kepentingan AS dan bisa mengacaukan hubungan Mesir-Israel yang telah dibangun selama tiga dekade.

Karena itu AS tampaknya tidak akan membiarkan Mesir berjalan sendiri tanpa kendali. Itu artinya, upaya-upaya mencampuri proses politik yang sedang berlangsung sejatinya hanya akan memperkeruh transisi demokrasi, sekaligus menyeret Mesir ke dalam limbung ketidakpastian.

Faris Alfadh

Image from here

No comments:

Post a Comment