April 09, 2010

Abhisit dan Rekonsiliasi Demokrasi
















Jawa Pos, 9 April 2010

JIKA ada negara di ASEAN yang mengalami fluktuasi high politic cukup tinggi dalam lima tahun terakhir, itu adalah Thailand. Sejak Thaksin digulingkan lewat kudeta militer pada 2006, sudah lima kali terjadi pergantian kepemimpinan di tingkat perdana menteri (PM).

Aksi protes yang digelar pendukung Thaksin mulai tiga pekan terakhir merupakan rentetan panjang dari polarisasi kekuatan politik yang saling bergantian sejak kudeta empat tahun lalu, antara pendukung Thaksin, PM Abhisit Vejjajiva, dan militer. Bagaimana menjelaskan instabilitas demokrasi di Thailand saat ini serta upaya terbaik apa yang bisa ditempuh Abhisit?

Demokrasi Praetorian

Pangkal krisis politik di Thailand saat ini tidak terlepas dari kembalinya militer ke dalam politik pada 2006. Sebab, sejak itu, kita menyaksikan krisis politik secara maraton di negara yang dikepalai Raja Bhumibol Adulyadej tersebut.

Memang, dalam politik selalu ada kemungkinan bagi praetorianisme. Kesempatan itu memungkinkan militer masuk dalam politik dan mengambil alih kekuasaan sipil. Baik dipicu krisis ekonomi, gejala vakumnya kekuasaan, maupun gagalnya sipil dalam menjaga stabilitas negara.

Kudeta empat tahun lalu bisa dilihat dari indikator terakhir. Militer kecewa terhadap pemerintahan Thaksin yang terus mengalami krisis legitimasi menyusul merebaknya kasus korupsi. Namun, yang tidak disadari, intervensi militer dalam politik kerap berujung pada kegagalan konsolidasi demokrasi. Baik disebabkan rezim militer yang terus berkuasa pascakudeta maupun penetrasi politik inkonstitusional yang terus dilakukan, bahkan setelah kekuasaan kembali ke tangan sipil.

Kasus kudeta di beberapa negara menunjukkan hal tersebut. Misalnya kudeta militer di Pakistan pada 1999, Filipina (1986), serta Argentina (1970-an).

Dalam kasus Thailand, walaupun pemerintahan yang didukung militer saat itu, di bawah Jenderal Surayud Chulanot, hanya berlangsung hingga 2008, kenyataannya militer tetap memainkan peran politik secara tidak langsung. Hal tersebut segera terlihat pada pemilu pertama pascakudeta. Kemenangan Partai Kekuatan Rakyat, yang didirikan para pendukung Thaksin serta naiknya Samak Sundaravej sebagai PM membuat militer tidak nyaman. Banyak yang menilai, militer punya andil besar dalam mendukung aksi-aksi protes oposisi serta upaya mencari kesalahan demi mendelegitimasi kekuasaan.

Intervensi militer sejak kudeta empat tahun lalu berimplikasi panjang dalam sistem demokrasi Thailand. Sebab, upaya itu tidak hanya mendevaluasi pendalaman demokrasi, tetapi sekaligus memperbesar friksi sosial-politik. Aksi-aksi protes dalam spektrum yang silih berganti, termasuk yang terjadi sejak tiga minggu terakhir, merupakan rentetan krisis demokrasi sejak kembalinya militer ke dalam politik. Belum lagi, disinyalir Abhisit naik ke tampuk pemerintahan pada 2008 karena dukungan kuat militer.

Rekonsiliasi Demokrasi

Seperti diramalkan, upaya dialog antara pemerintah dan pemrotes sejak Minggu lalu (28/3) akhirnya buntu. Keinginan pemrotes, yang juga dikenal sebagai kelompok Kaus Merah, agar pemerintah segera membubarkan parlemen dan mengadakan pemilu masih ditolak Abhisit. Sementara itu, kelompok pemrotes menilai upaya Abhisit hanya mengulur-ngulur waktu, tidak betul-betul tulus untuk mencari solusi krisis.

Karena itu, Abhisit seharusnya memperhitungkan bahwa kegagalan upaya dialog bisa meruncingkan kebuntuan politik. Bentrok antara pemrotes dan aparat keamanan Selasa lalu (6/4) mulai menunjukkan hal tersebut. Jika krisis politik sampai terjadi pada suhu tertinggi, yang paling dirugikan tentu saja Abhisit. Sebab, akan muncul keraguan banyak pihak (public distrust) terhadap kapabilitas Abhisit sebagai PM. Dengan demikian, upaya serius perlu dilakukan.

Pertama, tak ada pilihan lain kecuali melangsungkan pemilu secepatnya sebelum akhir tahun ini. Khawatir para kolega Thaksin menang jika pemilu digelar tentu sebuah penilaian yang prematur. Abhisit harus yakin, jika ingin mendapatkan legitimasi politik, dirinya dan Partai Demokrat harus membuktikan mampu meraih simpati rakyat melalui pemilihan umum.

Kedua, Abhisit harus meniupkan optimisme kepada semua pihak bahwa politik kali ini bakal dibangun di atas demokrasi yang kukuh -lepas dari intervensi militer, tekanan politik, serta politik uang. Dia harus bisa menepis tuduhan selama ini -bahwa dukungan militerlah yang menaikkannya ke tampuk pemerintahan. Karena itu, siapa pun yang memenangi pemilu berhak atas garansi legitimasi politik.

Jika rekonsiliasi demokrasi gagal, eksemplar demokrasi Thailand yang limbung, tampaknya, tak pernah memasuki lembaran baru.

Faris Alfadh
Image from here

2 comments:

  1. wew, artikel keren, mas Faris. saya masih perlu belajar banyak nih. mahasiswamu ini mohon bimbingannya. :)

    ReplyDelete
  2. Terimakasih, Abe.
    Esai-esai di blog-mu juga bagus kok. Energi dan intesitas menulismu sangat tinggi. hehe. Keep on writing :D

    ReplyDelete