-- Faris Alfadh
Malam ini aku kembali tak bisa memejamkan mata. Bukan karena aku seorang insomnia, yang biasa berlama-lama menikmati malam dengan secangkir kopi, sembari berdiskusi menanti habisnya malam. Bukan! Aku bukanlah seperti itu.
Aku biasa tertidur lelap di waktu yang tidak terlalu larut. Namun entah, aku tak ingat lagi kapan terakhir itu terjadi.
Aku tak bisa tidur. Benar-benar mata ini tak bisa kupejamkan. Bukan karena ku tak kuasa. Tetapi aku takut untuk memejamkan mata. Aku takut tertidur dan melihat duniaku melalui ruang yang tak kukenal. Aku takut bayangan itu datang lagi. Setiap kali ku tertidur, ia selalu datang menyapa. Jika malam ini mata tetap kupejamkan, entah ia akan jadi malam keberapa.
Malam kemaren bayangan itu datang lagi. Sebenarnya aku lebih suka menyebutnya memori. Karena ia datang begitu dekat, seolah pernah kualami sebelumnya. Apakah aku melintasi patahan waktu? Atau aku berjalan di atas waktu yang melingkar, lalu suatu kali tak sengaja bersinggungan dengan patahan yang pernah kulewati? Entahlah. Aku semakin bingung saja.
Tetapi sebentar! Ya, aku yakin, itu aku! Aku adalah seorang serdadu di negeri yang tak kukenal itu. Aku merasa diriku tidak di zaman ini, tetapi berpuluh tahun yang lalu, atau bahkan sebelum kakek buyutku dilahirkan. Aku meraba diriku. Adakah benar ini aku? Kurasakan wajahku, ya, ini aku. Tak berubah sedikit pun. Tangan, kaki, semuanya. Bajuku. O, hanya bajuku yang berbeda. Baju ini sangat kusam. Tetapi kenapa aku berada di sebuah tempat yang aneh di masa lalu? Aku seolah tersesat dalam labirin kekosongan. Hampa namun tak ada jalan keluar kudapati.
Bersama serdadu lainnya, aku menelusuri kota ini melaui pinggiran. Menyisir beberapa tempat. Mendapatkan bangunannya yang hancur, kumuh seolah baru saja dihujani rudal. Bangunan-bangunan itu berdiri berjejeran, terlihat kusam, tak lagi layak dihuni. Kota ini mecekam. Gelap, tak ada secercah sinar. Orang-orang kuperhatikan tak ada yang bertahan. Nenek itu hanya diam, duduk memandang hampa. Negeri yang asing. Tapi kenapa aku mengenali mereka? rumah-rumah yang tak berpenghuni itu, dan…ya, sebuah negeri yang tenggelam. Mengerikan sekali. Tak ada kehidupan tak ada yang bertahan, kecuali kami: para serdadu.
O, aku ingat. Bukankah ini belahan kota di indonesiaku? Dulu. Aku yakin itu! Aku pernah berada di sini, berjalan menysuri kota. Tetapi kapan? Aku adalah serdadu bangsaku. Bangunan-bangunan yang hancur itu, bukankah sekarang di atasnya berdiri apartemen dan vila-vila mewah? Bukankah orang-orang itu kini menjelma dalam keragaman? Bukan! Bukan keragaman. Tetapi perbedaan, yang tiap kali rentan disulut kebencian satu sama lain. Inikah yang kemudian menjadi sumber konflik?
Aku takut memori kehancuran itu datang lagi dalam tidurku malam ini. Kupandangi, sudah pukul 02:10. Waktu yang sangat larut bagiku. Aku tak tahu persis apakah aku mengalami dilatasi waktu? Apakah ada “aku” di masa yang lalu, yang selanjutnya, bagian dari memorinya juga mengikutiku ? atau ada “aku” yang lain di waktu yang sama dalam dimensi ruang yang berbeda?
Tiga malam yang lalu bahkan lebih mengerikan. Dalam tidurku aku duduk termangu. Suara teriakan seorang perempuan meminta pertolongan memecah keheninganku. Aku berlari, berlari sekuatnya. tetapi yang kudapati, ia sudah berlalu, dengan bekas hujanan peluru di dadanya. Darah mengucuri tanah berbau. Aku hanya bisa memandangi musuhku meninggalkannya. Aku tak kuasa. Aku bersalah. Aku berteriak. Bayangan ini selalu menghantuiku…
Adakah aku tertidur? Sepertinya belum. Aku terus saja memikirkannya. Tidak, aku berusaha terus memikirkannya, sambil menjauhkan hasrat mataku yang segera ingin menyudahi fikiranku. Tetapi sebentar! Bukan. Sepertinya itu bukan masa lalu. Kupandangi bangunan itu. Bukankah itu gedung-gedung yang kini ada di kota-kota negeriku? Tetapi kenapa yang tersisa tinggal puing-puing kehancuran? Sepertinya ia hancur dirusak zaman, tak ada yang merawat. Nenek yang duduk murung itu, adakah ia wajah para pengungsi? Atau wajah bangsaku? Mencekam, adakah ini masa depan negeriku? O, negeri yang tengelam itu, ya, bukankah ia Porong Sidoarjo? Semuanya berubah. Inikah masa depan indoensiaku? Aku melihatnya, merasakannya. Aku berada di dalamnya. Tetapi bagaimana?
Aku salah. Aku tak berada di masa lalu. Aku berada di masa depan. Berpuluh tahun dari sekarang. Seolah aku melintasi patahan waktu yang akan kualami. Jika ada yang meyakini “keberulangan kembali”, dejavu, dan yang lainnya, atau apalah namanya. Apakah ini sebaliknya? Aku mengalami sesuatu yang akan kualami. Mungkinkah! O, kepalaku jadi pusing.
Aku tidak bermimpi, itu jelas bagian dari perjalanan memoriku. Tetapi yang jelas, mimpi ini, para serdadu, semuanya, tidaklah datang secara kebetulan. Aku yakin tak ada yang kebetulan. Puing-puing itu, kami para serdadu, nenek itu, negeri yang tengelam, semuanya bukanlah kebetulan. Aku memang belum membaca habis The Celestine prophecy-nya James Redfield. Tetapi aku tahu, wawasan pertamanya bahwa “tidak ada yang kebetulan” adalah benar.
Malam ini aku ingin sekali memejamkan mataku. Tetapi bayangan itu… Kembali kupandangi jam di atas mejaku. Pukul 03:05. Aku harus tidur. Ya, harus. Bagaimanapun besok pagi aku harus kuliah. Besok adalah kesempatan terakhirku. Sudah tiga kali aku bolos. Satu kali lagi, ya, satu kali lagi. Kalian tahu itu... 70%... aku harus tidur. Aku tahu itu… zzz…!!!
Sebentar, sebelum aku tertidur. Aku teringat temanku Fahd yang akan menerbitkan bukunya Insomnia-Amnesia dalam bulan ini. Kuucapkan selamat! Aku ingin membacanya. Adakah ia juga menulis apa yang kualamai ini?
gambar dari sini
Malam ini aku kembali tak bisa memejamkan mata. Bukan karena aku seorang insomnia, yang biasa berlama-lama menikmati malam dengan secangkir kopi, sembari berdiskusi menanti habisnya malam. Bukan! Aku bukanlah seperti itu.
Aku biasa tertidur lelap di waktu yang tidak terlalu larut. Namun entah, aku tak ingat lagi kapan terakhir itu terjadi.
Aku tak bisa tidur. Benar-benar mata ini tak bisa kupejamkan. Bukan karena ku tak kuasa. Tetapi aku takut untuk memejamkan mata. Aku takut tertidur dan melihat duniaku melalui ruang yang tak kukenal. Aku takut bayangan itu datang lagi. Setiap kali ku tertidur, ia selalu datang menyapa. Jika malam ini mata tetap kupejamkan, entah ia akan jadi malam keberapa.
Malam kemaren bayangan itu datang lagi. Sebenarnya aku lebih suka menyebutnya memori. Karena ia datang begitu dekat, seolah pernah kualami sebelumnya. Apakah aku melintasi patahan waktu? Atau aku berjalan di atas waktu yang melingkar, lalu suatu kali tak sengaja bersinggungan dengan patahan yang pernah kulewati? Entahlah. Aku semakin bingung saja.
Tetapi sebentar! Ya, aku yakin, itu aku! Aku adalah seorang serdadu di negeri yang tak kukenal itu. Aku merasa diriku tidak di zaman ini, tetapi berpuluh tahun yang lalu, atau bahkan sebelum kakek buyutku dilahirkan. Aku meraba diriku. Adakah benar ini aku? Kurasakan wajahku, ya, ini aku. Tak berubah sedikit pun. Tangan, kaki, semuanya. Bajuku. O, hanya bajuku yang berbeda. Baju ini sangat kusam. Tetapi kenapa aku berada di sebuah tempat yang aneh di masa lalu? Aku seolah tersesat dalam labirin kekosongan. Hampa namun tak ada jalan keluar kudapati.
Bersama serdadu lainnya, aku menelusuri kota ini melaui pinggiran. Menyisir beberapa tempat. Mendapatkan bangunannya yang hancur, kumuh seolah baru saja dihujani rudal. Bangunan-bangunan itu berdiri berjejeran, terlihat kusam, tak lagi layak dihuni. Kota ini mecekam. Gelap, tak ada secercah sinar. Orang-orang kuperhatikan tak ada yang bertahan. Nenek itu hanya diam, duduk memandang hampa. Negeri yang asing. Tapi kenapa aku mengenali mereka? rumah-rumah yang tak berpenghuni itu, dan…ya, sebuah negeri yang tenggelam. Mengerikan sekali. Tak ada kehidupan tak ada yang bertahan, kecuali kami: para serdadu.
O, aku ingat. Bukankah ini belahan kota di indonesiaku? Dulu. Aku yakin itu! Aku pernah berada di sini, berjalan menysuri kota. Tetapi kapan? Aku adalah serdadu bangsaku. Bangunan-bangunan yang hancur itu, bukankah sekarang di atasnya berdiri apartemen dan vila-vila mewah? Bukankah orang-orang itu kini menjelma dalam keragaman? Bukan! Bukan keragaman. Tetapi perbedaan, yang tiap kali rentan disulut kebencian satu sama lain. Inikah yang kemudian menjadi sumber konflik?
Aku takut memori kehancuran itu datang lagi dalam tidurku malam ini. Kupandangi, sudah pukul 02:10. Waktu yang sangat larut bagiku. Aku tak tahu persis apakah aku mengalami dilatasi waktu? Apakah ada “aku” di masa yang lalu, yang selanjutnya, bagian dari memorinya juga mengikutiku ? atau ada “aku” yang lain di waktu yang sama dalam dimensi ruang yang berbeda?
Tiga malam yang lalu bahkan lebih mengerikan. Dalam tidurku aku duduk termangu. Suara teriakan seorang perempuan meminta pertolongan memecah keheninganku. Aku berlari, berlari sekuatnya. tetapi yang kudapati, ia sudah berlalu, dengan bekas hujanan peluru di dadanya. Darah mengucuri tanah berbau. Aku hanya bisa memandangi musuhku meninggalkannya. Aku tak kuasa. Aku bersalah. Aku berteriak. Bayangan ini selalu menghantuiku…
Adakah aku tertidur? Sepertinya belum. Aku terus saja memikirkannya. Tidak, aku berusaha terus memikirkannya, sambil menjauhkan hasrat mataku yang segera ingin menyudahi fikiranku. Tetapi sebentar! Bukan. Sepertinya itu bukan masa lalu. Kupandangi bangunan itu. Bukankah itu gedung-gedung yang kini ada di kota-kota negeriku? Tetapi kenapa yang tersisa tinggal puing-puing kehancuran? Sepertinya ia hancur dirusak zaman, tak ada yang merawat. Nenek yang duduk murung itu, adakah ia wajah para pengungsi? Atau wajah bangsaku? Mencekam, adakah ini masa depan negeriku? O, negeri yang tengelam itu, ya, bukankah ia Porong Sidoarjo? Semuanya berubah. Inikah masa depan indoensiaku? Aku melihatnya, merasakannya. Aku berada di dalamnya. Tetapi bagaimana?
Aku salah. Aku tak berada di masa lalu. Aku berada di masa depan. Berpuluh tahun dari sekarang. Seolah aku melintasi patahan waktu yang akan kualami. Jika ada yang meyakini “keberulangan kembali”, dejavu, dan yang lainnya, atau apalah namanya. Apakah ini sebaliknya? Aku mengalami sesuatu yang akan kualami. Mungkinkah! O, kepalaku jadi pusing.
Aku tidak bermimpi, itu jelas bagian dari perjalanan memoriku. Tetapi yang jelas, mimpi ini, para serdadu, semuanya, tidaklah datang secara kebetulan. Aku yakin tak ada yang kebetulan. Puing-puing itu, kami para serdadu, nenek itu, negeri yang tengelam, semuanya bukanlah kebetulan. Aku memang belum membaca habis The Celestine prophecy-nya James Redfield. Tetapi aku tahu, wawasan pertamanya bahwa “tidak ada yang kebetulan” adalah benar.
Malam ini aku ingin sekali memejamkan mataku. Tetapi bayangan itu… Kembali kupandangi jam di atas mejaku. Pukul 03:05. Aku harus tidur. Ya, harus. Bagaimanapun besok pagi aku harus kuliah. Besok adalah kesempatan terakhirku. Sudah tiga kali aku bolos. Satu kali lagi, ya, satu kali lagi. Kalian tahu itu... 70%... aku harus tidur. Aku tahu itu… zzz…!!!
Sebentar, sebelum aku tertidur. Aku teringat temanku Fahd yang akan menerbitkan bukunya Insomnia-Amnesia dalam bulan ini. Kuucapkan selamat! Aku ingin membacanya. Adakah ia juga menulis apa yang kualamai ini?
gambar dari sini
No comments:
Post a Comment